Stunting kerap dikaitkan dengan tinggi badan yang rendah pada usia normalnya atau pendek. Padahal stunting tidak hanya sekedar permasalahan mengenai tinggi badan anak, namun dapat berdampak ke pertumbuhan dan perkembangan otak anak.
Sebenarnya apa sih itu stunting? Menurut Departemen Kesehatan (2018), stunting atau kerdil merupakan permasalahan kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dari bayi sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, yakni tinggi badan yang pendek atau kerdil dari standar usianya. Anak-anak dapat didefinisikan sebagai stunting jika tinggi badan mereka kurang dari dua standar deviasi sesuai standar pertumbuhan anak WHO.
Berdasarkan data mengenai stunting, Satu dari tiga balita (bayi di bawah lima tahun) di Indonesia menderita stunting. Orang tua dan keluarga memiliki peran penting pada anak untuk mencegah stunting agar tidak mencapai fase stunted. Selain stunting, kita juga perlu perhatikan fase stunted pada anak. Stunted merupakan fase gagal tumbuh. Ketika anak-anak yang stunting telah berusia dua tahun, mereka sangat berpotensi mengalami stunted.
Bagaimana stunting bisa terjadi? Terdapat beberapa macam faktor yang dapat mengakibatkan seorang anak dapat menderita stunting salah satunya adalah asupan nutrisi anak yang kurang atau tidak sesuai standar pada masa emas anak yakni 1000 Hari Pertama Kehidupan(HPK) atau yang biasa disebut dengan window of opportunity dimulai sejak hari pertama bayi dalam kandungan hingga anak berumur dua tahun. Stunting memiliki risiko fungsional yang dapat merugikan pada anak terutama dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak. Beberapa risiko tersebut termasuk kognitif dan prestasi sekolah yang menurun, kehilangan produktivitas, dan meningkatkan risiko mengidap penyakit degenerative saat dewasa nanti, seperti stroke, diabetes dan bahkan kanker. Kabar baiknya: Anak-anak stunting masih bisa kita upayakan agar mampu catch up growth agar selamat dari menjadi stunted.
Dalam lima tahun terakhir, jumlah anak yang menderita stunting paling banyak tercatat pada tahun 2018 dengan prevalensi 30,8%, dan pada tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 27,7%. Meskipun telah mengalami penurunan, angka stunting di Indonesia masih belum sesuai dengan standar dari WHO di mana menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting masih sama atau lebih dari 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan stunting masih menjadi permasalahan yang urgent untuk ditindaklanjuti dan dicegah.
Lalu, apakah kita dapat membuat angka stunting berkurang atau bahkan zero stunting di Indonesia? Jawabannya, tentu bisa! Shop.141 hadir sebagai solusi yang inovatif berbasis teknologi dalam bentuk tech-based social enterprise, platform e-commerce yang berdampak sosial dengan visi memungkinkan semua orang untuk menjadi #PahlawanGizi. Sebagai An Impact Driven Social E-Commerce, Shop.141 tidak hanya mampu menjadikan para customer dan mitra sebagai #PahlawanGizi (#ZeroHungerHero) secara tidak langsung untuk anak-anak stunting binaan di daerah pilot project Shop.141 tetapi juga turut membantu penyuksesan program pemberdayaan ekonomi dan pola asuh ibu-ibu yang memiliki anak-anak stunting. Secara berkelanjutan,30% keuntungan dari hasil penjualanan produk di Shop.141 dialokasikan untuk rehabilitasi gizi anak stunting dan pemberdayaan ibu-ibu yang memiliki anak stunting di daerah pilot project shop.141. Yuk, #BeAZeroHungerHero bersama Shop.141! Mari kita selamatkan lebih banyak lagi anak-anak stunting (kurang gizi kronis) dari menjadi stunted (gagal tumbuh). Kalau bukan kita, siapa lagi? Make Order and #BeAZeroHungerHero Now!
Written by: @merindacy & @dehoukiboshi
Posted by: @fajarkh_10